Cari Blog Ini

Kamis, 09 Juli 2020

Teaching New Generation

Teaching New Generation




Oleh : Sumarjiyati,S.Pd.I

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” – Ali bin Abi Thalib. Kalimat inspiratif Ali bin Abi Thalib ratusan tahun yang lalu tak lekang oleh zaman, tak pudar oleh waktu. Masih sesuai dengan era kini. Inilah saatnya sang guru harus belajar menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Materi Teaching New Generation kerja sama PGRI dengan Rumah Perubahan sangat layak diperhatikan.

            Materi diawali Mas Taufik Ramadan dengan statemen bahwa beda generasi, beda komunikasi. Era kakek/ nenek kita adalah teks saya. Era bapak kita adalah telepon saya. Era kakak kita adalah email saya. Dan era milenial adalah chat saya. Bisa dikatakan bahwa dunia komunikasi generasi saat ini adalah chat.



Generasi tiap zaman bisa diklasifikasikan sebagai berikut.
1.       Baby Boomers (1946-1964)
Generasi ini bercirikan:
-       Lahir setelah PD II
-       Perekonomian sedang tumbuh pesat
-       Manusia memegang kekuatan terbesar
2.       Generation X (1965-1979), yang bercirikan:
-       Gen Buz
-       Orang tua Gen Z
3.       Millenials (1980-2000), bercirikan:
-       Hidup dengan revolusi teknologi
-       Terbiasa dengan komputer, tablet, dan web.
4.       Generation (2000-2010) Z, bercirikan:
-       Digital native
-       Seluruh kehidupannya di depan layar gadget.


Pada era generation Z ini hampir semua layanan bisa lewat gadget. Mulai dari belanja (bisa online), komunikasi online, bertegur sapa online, pesan makanan pun bisa online. Semua layanan dapat dilakukan secara online menggunakan tablet, gadget atau gawai. Bahkan, siuasi pandemi ini menunut belajar pun online.
Kalau ada yang mengatakan bahwa gadget dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat tampaknya benar adanya. Bisa jadi kita berdekatan dengan beberapa orang, tetapi justru berkomunikasi dengan orang yang berada di tepat yang berjauhan. Bukan sekadar lintas daerah, melainkan bisa lintas negara.


Sebagaian besar kehidupan anak generattion Z bisa dilakukan di depan laptop atau komputer. Pada saat semua harus dikerjakan di rumah mulai dari WFH (work from home), SFH (study from home) atau PJJ (pembelajaran jarak jauh), maupun beribadah dari rumah bagi generation Z sudah tidak gagap lagi. Adapun bagi baby boomers maupun generati X perlu penyesuaian yang cukup siginifikan.

Bagi generasi Z, kecepatan akses merupakan prioritas utama. Prinsip siapa cepat dia yang dapat merupakan cocok bagi mereka. Dan bagi generasi ini semangat berbagi (sharing) nya luar biasa. Apapun yang dilakukan bisa dishare. Aktivitas apapun bisa dibagikan. Baik aktivitas menyedihkan maupun menyenangkan. Mereka suka membagikan travelling, pertemuan, aktivitas sosial, maupun kegiatan yang lainnya. Bahkan apa yang dimakan, kapan dia tidur pun bisa dibagikan. Semangat berbaginya relatif tinggi.



Pada era generasi Z ini, apapun yang diinginkan bisa dilakukan di dunia maya. Misalnya sesorang yang menginginginkan seorang tokoh diviralkan tinggal diunggah di dunia maya. Berbeda dengan generasi Y atau baby boomers yang semuanya bertumpu pada kekuatan manusia.

Kepedulian sosial pun diunggah di dunia maya sehingga semua orang dapat menyaksikan semua aktivitasnya. 

Pakar pendidikan Rhenald Kasali menulis sebuah buku yang berjudul “Strawberry Generation: Mengubah Generasi Rapuh menjadi Generasi Tangguh” pantas untuk dijadikan pelajaran. Beliau menyatakan bahwa anak-anak kita berhak keluar dari perangkap sebagai generasi rapuh. Beliau menyatakan juga bahwa generasi X masih ada yang gaptek. Memang tidak mudah bagi guru maupun pendidik untuk mengikuti perubahan era generasi Z. Akan tetapi, kita bisa menjadikan kesulitan itu sebagai energi. Energi itu seperti kita bermain game, baik game sesaat (untuk menang-menangan) maupun game sepanjang hayat seperti kehidupan, pernikahan, karier, profesi dan cinta.



Mbak Nur Anugerah dari Rumah Perubahan menyebut bahwa gaya atau tipe pembelajar adalah visual, auditory, kinaesthetic, dan read/write. Namun, seiring perkembangan zaman gaya belajar bisa menjadi lebih beragam.



Gaya belajar ada verbal, aural, visual, logical, social, solitary, dan physical. Masing-masing gaya belajar dapat diperkuat dengan media yang berbeda sesuai dengan variasinya. Sebagai contoh gaya visual dengan words, speech, dan wriing. Aural dengan sound dan music. Visual dengan image dan gambar.

Sebagai pendidik perlu mengenal membangun emotional intelegence millenial. Ini sangat diperlukan dalam proses pendidikan. Pendidik perlu sering-sering menanyakan kabar, menanyakan apa yang dirasakan, dan apa yang menjadikan perasaan hadir. Ini sangat diperlukan dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Pendidik juga perlu mengenali suasana perasaan peserta didik. Apakah mereka berada pada suasana marah, bosan, puas, atau sangat gembira.

Pendidik juga perlu mengubah mindset dalam pendidikan. Dari semula ‘mengejar standar’ menjadi ‘fokus pada murid’. Dari ‘mengerjakan hal rutin’ menjadi ‘melakukan eksplorasi’. Dari ‘hanya mengajar’ menjadi ‘mampu menjadi coach/role model’. Dari ‘satu arah atau tidak interaktif’ menjadi ‘diskusi dan feedback harian’. Dari ‘rapor haya berisi nilai akademik’ menjadi ‘rapor juga berisi area perubahan’.

Selamat menyambut perubahan dengan tangan terbuka para guru. Jasamu dinantikan umat sepanjang zaman. Uluran tanganmu menjadi penerang sepanjang zaman. Kehadiranmu pun tak tergantikan oleh teknologi apapun. Selamat mengikui perubahan.

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” – Ali bin Abi Thalib.

Salam Literasi
Selam Guru Bologger Indonesia

15 komentar:

Tips Tulisan yang di Lirik Pembaca

Tips Tulisan yang di Lirik Pembaca