Teaching New
Generation
Oleh : Sumarjiyati,S.Pd.I
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup
bukan di zamanmu” – Ali bin Abi Thalib. Kalimat
inspiratif Ali bin Abi Thalib ratusan tahun yang lalu tak lekang oleh zaman,
tak pudar oleh waktu. Masih sesuai dengan era kini. Inilah saatnya sang guru
harus belajar menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Materi Teaching New
Generation kerja sama PGRI dengan Rumah Perubahan sangat layak
diperhatikan.
Materi
diawali Mas Taufik Ramadan dengan statemen bahwa beda generasi, beda
komunikasi. Era kakek/ nenek kita adalah teks saya. Era bapak kita
adalah telepon saya. Era kakak kita adalah email saya.
Dan era milenial adalah chat saya. Bisa dikatakan bahwa dunia
komunikasi generasi saat ini adalah chat.
Generasi tiap zaman bisa diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Baby Boomers
(1946-1964)
Generasi ini bercirikan:
- Lahir setelah PD II
- Perekonomian sedang
tumbuh pesat
- Manusia memegang
kekuatan terbesar
2. Generation X
(1965-1979), yang bercirikan:
- Gen Buz
- Orang tua Gen Z
3. Millenials (1980-2000),
bercirikan:
- Hidup dengan revolusi
teknologi
- Terbiasa dengan
komputer, tablet, dan web.
4. Generation (2000-2010)
Z, bercirikan:
- Digital native
- Seluruh kehidupannya di
depan layar gadget.
Pada era generation Z ini hampir semua layanan bisa lewat gadget.
Mulai dari belanja (bisa online), komunikasi online, bertegur sapa online,
pesan makanan pun bisa online. Semua layanan dapat dilakukan secara online
menggunakan tablet, gadget atau gawai. Bahkan, siuasi pandemi ini menunut
belajar pun online.
Kalau ada yang mengatakan bahwa gadget dapat mendekatkan yang jauh
dan menjauhkan yang dekat tampaknya benar adanya. Bisa jadi kita berdekatan
dengan beberapa orang, tetapi justru berkomunikasi dengan orang yang berada di
tepat yang berjauhan. Bukan sekadar lintas daerah, melainkan bisa lintas
negara.
Sebagaian besar kehidupan anak generattion Z bisa
dilakukan di depan laptop atau komputer. Pada saat semua harus dikerjakan di
rumah mulai dari WFH (work from home), SFH (study from home) atau
PJJ (pembelajaran jarak jauh), maupun beribadah dari rumah bagi generation Z
sudah tidak gagap lagi. Adapun bagi baby boomers maupun generati X perlu
penyesuaian yang cukup siginifikan.
Bagi generasi Z, kecepatan akses merupakan prioritas utama. Prinsip
siapa cepat dia yang dapat merupakan cocok bagi mereka. Dan bagi generasi ini
semangat berbagi (sharing) nya luar biasa. Apapun yang dilakukan bisa
dishare. Aktivitas apapun bisa dibagikan. Baik aktivitas menyedihkan maupun
menyenangkan. Mereka suka membagikan travelling, pertemuan, aktivitas sosial,
maupun kegiatan yang lainnya. Bahkan apa yang dimakan, kapan dia tidur pun bisa
dibagikan. Semangat berbaginya relatif tinggi.
Pada era generasi Z ini, apapun yang diinginkan bisa dilakukan di
dunia maya. Misalnya sesorang yang menginginginkan seorang tokoh diviralkan
tinggal diunggah di dunia maya. Berbeda dengan generasi Y atau baby boomers
yang semuanya bertumpu pada kekuatan manusia.
Kepedulian sosial pun diunggah di dunia maya sehingga semua orang
dapat menyaksikan semua aktivitasnya.
Pakar pendidikan Rhenald Kasali menulis sebuah buku yang berjudul
“Strawberry Generation: Mengubah Generasi Rapuh menjadi Generasi Tangguh”
pantas untuk dijadikan pelajaran. Beliau menyatakan bahwa anak-anak kita berhak
keluar dari perangkap sebagai generasi rapuh. Beliau menyatakan juga bahwa
generasi X masih ada yang gaptek. Memang tidak mudah bagi guru maupun pendidik
untuk mengikuti perubahan era generasi Z. Akan tetapi, kita bisa menjadikan
kesulitan itu sebagai energi. Energi itu seperti kita bermain game, baik game
sesaat (untuk menang-menangan) maupun game sepanjang hayat seperti kehidupan,
pernikahan, karier, profesi dan cinta.
Mbak Nur Anugerah dari Rumah Perubahan menyebut bahwa gaya atau
tipe pembelajar adalah visual, auditory, kinaesthetic, dan read/write.
Namun, seiring perkembangan zaman gaya belajar bisa menjadi lebih beragam.
Gaya belajar ada verbal, aural, visual, logical, social,
solitary, dan physical. Masing-masing gaya belajar dapat
diperkuat dengan media yang berbeda sesuai dengan variasinya. Sebagai contoh
gaya visual dengan words, speech, dan wriing. Aural
dengan sound dan music. Visual dengan image dan
gambar.
Sebagai pendidik perlu mengenal membangun emotional
intelegence millenial. Ini sangat diperlukan dalam proses pendidikan.
Pendidik perlu sering-sering menanyakan kabar, menanyakan apa yang dirasakan,
dan apa yang menjadikan perasaan hadir. Ini sangat diperlukan dalam mencapai
keberhasilan pendidikan. Pendidik juga perlu mengenali suasana perasaan peserta
didik. Apakah mereka berada pada suasana marah, bosan, puas, atau sangat
gembira.
Pendidik juga perlu mengubah mindset dalam pendidikan. Dari semula
‘mengejar standar’ menjadi ‘fokus pada murid’. Dari ‘mengerjakan hal rutin’
menjadi ‘melakukan eksplorasi’. Dari ‘hanya mengajar’ menjadi ‘mampu menjadi
coach/role model’. Dari ‘satu arah atau tidak interaktif’ menjadi ‘diskusi
dan feedback harian’. Dari ‘rapor haya berisi nilai akademik’
menjadi ‘rapor juga berisi area perubahan’.
Selamat menyambut perubahan dengan tangan terbuka para guru. Jasamu
dinantikan umat sepanjang zaman. Uluran tanganmu menjadi penerang sepanjang
zaman. Kehadiranmu pun tak tergantikan oleh teknologi apapun. Selamat mengikui
perubahan.
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup
bukan di zamanmu” – Ali bin Abi Thalib.
Salam Literasi
Selam Guru Bologger Indonesia
Masyaalloh bagus banget Bu. Keren tulisannya
BalasHapusMksih ibuk..salam kenal..
HapusSipp dek terus berkarya👍
BalasHapusDi sela2 microsoft buk..hehe. dpt ilmu dr webinar
Hapuskeren tulisannya
BalasHapusMksih..ibu salam knal sakam literasi
HapusMenulis butuh konsistensi, fokus dan terus berupaya mengasah ketajaman analisis. Lanjutkan
BalasHapusBismilah insyaAllah..
HapusMantab..ilmunya mbk..mksh
BalasHapusMksih buk..
HapusTerima kasih sharing ilmunya
BalasHapusTerima kasih sharing ilmunya
BalasHapusSalam literasi ...sukses y bu
BalasHapussalam literasi
BalasHapussalam suksesa selalu
BalasHapus