Cari Blog Ini

Sabtu, 27 November 2021

Senyum Terakhirmu

Senyum Terakhir



Kokok ayam terdengar dari balik selimut tipis yang membalut tubuhku. Hawa dingin merasuk  tubuhku hingga  terasa enggan diriku untuk beranjak dari pembaringan. Terdengar suara pintu kamar ibuku terbuka. Setiap malam sering aku mendengar ibuku mengayunkan langkahnya untuk mengambil wudu. Kamar ibuku bersebelahan dengan kamarku yang hanya di batasi triplek. 
"Ning, ayo bangun, Nak." Suara lembut ibuku memanggilku pelan.  
"Iya, bu," jawabku lirih. Walau aku menjawab terkadang belum tentu aku mengindahkan ajakan ibu untuk tunaikan salat malam. Namun ibu selalu sabar membangunkanku. Aku semangat bergegas bangun jika esok hari ada ulangan di sekolah. Juga saat hari Senin dan Kamis karena aku harus latihan puasa . Ya sejak aku masuk Sekolah Menengah Atas ibuku mengajakku untuk melakukan amalan sunah itu.

Dengan penuh kasih sayang ibu membuatkan makan sahur dan menemaniku belajar sampai adzan subuh berkumandang.  Tidak hanya sampai disitu. Setelah ibu menunaikan salat subuh pekerjaan rutin dapur beliau selesaikan dengan rapi. Aku hanya bisa membantu seperlunya merapikan piring bekas sarapan aku dan adikku, selebihnya ibu yang menyelesaikannya. Ibu selalu melarangku dengan alasan aku terlambat ke sekolah.

Saat kami berangkat ke sekolah, ibu juga berangkat ke warung pojok  dusun di mana kami tinggal. Ya.. ibuku berjualan kecil-kecilan, di sana  warung peninggalan Kakekku itu menjadi tumpuan ibuku untuk membantu mencukupi kebutuhan keluargaku. 

Sinar hangat mentari bersamai langkah kami menggapai cita-cita kami. Adikku satu-satunya duduk di kelas 3 SMP sedangkan aku sudah duduk di kelas 3 SMA jarak tiga tahun antara aku dan adikku membuat kami sangat akrab. Dalam keadaan  apapun kami selalu bersama.  Di iringi doa Ibu yang sangat meneduhkan. Kami pun semangat lalui hari tuk gapai cita-cita. Ibu banyak berharap pada kami agar kami bisa jadi orang yang sukses bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri untuk agar dapat mencukupi kebutan kami. Ibu tak ingin kami anak-anaknya mengalami seperti apa yang di alami Ibukku.
Setelah aku lulus SMA aku tak langsung kuliah, aku ingin bekerja dulu dan itu aku sampaikan ke orang tuaku. Semburat kesedihan terlihat di wajah Ibuku. Dalam benaknya ingin sekali aku dan adikku bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Namun apa hendak di kata keadaan ekonomi keluarga kami tak mendukung. Dan aku tak ingin terlalu membebani kedua orang tuaku.
Aku pun mencari pekerjaan di kota dengan tetap pada niatku untuk nanti bisa kuliah.
"Ibu, mohon doa restumu, ijinkan aku tuk mencari pengalaman di kota," pintaku di suatu pagi. 
"Maafkan aku, Nak. Ibu tak bisa melarangmu, karena ibu juga tak bisa buat apa-apa. Teriring doa ibu, semoga Allah selalu melindungi dan memberkahimu di manapun kamu berada," jawab Ibuku.
"Bu, kenapa harus minta maaf. Ibu sudah memberikan yang terbaik untukku. Terimakasih, Ibu." Kuraih tangan ibu dan kupeluk tubuhnya yang mulai rapuh.
Aku menangis, tak tega meninggalkan Ibu. Namun demi mimpiku aku harus pergi.

Dua tahun aku berada di rantau, suka duka yang aku rasakan membuatku jadi orang yang kuat dan mandiri. Dari gaji yang aku terima, aku selalu menyisihkannya. Rasa bahagia tatkala aku juga bisa mengirimkan untuk ibu dan adikku di kampung. Walau tak seberapa namun ada kebahagiaan tersendiri yang membuatku tambah semangat dalam bekerja. Terimakasih ya rabb, atas rahmad dan rijki yang Kau berikan.

Sore itu Ayahku menelponku melalui Ibu Kost. Ayah memintaku pulang. Aku masih bingung. Di saat aku sudah di tetapkan menjadi karyawan tetap namun aku diminta pulang kampung untuk bekerja sebagai guru honor di sekolah dekat tempatku tinggal. Dalam kebimbanganku aku berdoa pada Allah untuk mohon petunjuk. Tak lupa aku minta pendapat Ibuku. Dan Ibuku  menyarankan agar aku pulang.  Allah tunjukkan jalan untuk aku meraih mimpiku. Akupun putuskan untuk pulang bekerja  menjadi guru honor yang tentu gajinya jauh lebih sedikit di bandingkan gajiku di kota. 
Bismilah aku pun pulang kampung dan mengabdikan diri sebagai guru honor. Senyum bahagia Ibuku dapat kulihat. Ibu begitu bangga padaku, meihatku menjadi guru membuatnya sangat bahagia. Akupun demikian walau gaji sedikit namun aku bahagia dengan semua ini. Bahagia bisa selalu dekat dengan Ayah Ibuku, bahagia bisa berbagi dan mengajarkan sesuatu pada siswaku. 
***
Tujuh tahun pengabdianku menjadi guru honor, akupun diangkat menjadi CPNS melalui seleksi data base. Betapa Allah sangat sayang pada hambanya. Saat kita bekerja dengan iklas maka Allah telah menyiapkan balasan terindah untuk kita. Bersyukur atas semua anugrah ini. Ibuku adalah orang pertama  merasakan kebahagiaan atas apa yang aku terima. 
"Selamat, Nak. Kamu kuat, kamu sabar dan kamu bisa rasakan betapa perjuanganmu telah buahkan hasil terindah." Ucap Ibuku
Aku tak dapat berkata apa-apa.  Tetesan bening di pipiku mewakili semuanya, Ibu sangat paham denganku. Kami pun berpelukan. Rasa haru menyertai kami. 
Setahun pengangkatanku menjadi Guru PNS. Ibuku mulai sering jatuh sakit. Belum lama di ketahui Ibuku mengindap penyakit diabetes/gula. Butuh kehatia-hatian dalam menjaga pola makan. 
Beberapa kali  Ibu harus opnum di rumah sakit. 

Tidak banyak yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa lakukan sesuai anjuran dokter. Terkadang ibu seperti menyerah. Pernah suatu ketika beliau sampaikan bahwa dia lelah, capek setiap hari makan-makanan itu-itu saja. 
Selama ini tak pernah aku mendengar Ibu mengeluh. Aku berusaha kuatkan Ibuku untuk bisa tetap semangat dan bersabar. 

Setiap hari Ibu selalu mengkonsomsi obat. Vitamin juga tak lupa aku berikan. Beberapa hari aku lihat Ibu termenung. Ya Rabb ... Tak tega aku melihat Ibukku. Beri kesembuhan untuknya. Doaku dalam hati serta doaku setiap hari. Aku ingin melihat Ibukku yang kuat, tegar sehat seperti yang dulu. 

Hingga suatu malam, di bulan Ramadhan. Saat kami berkumpul bersama kakak-kakaku yang lain. Kebetulan kami mengadakan buka bersama di rumah. Setelah berbuka puasa bersama kami berbincang-bincang dan bersenda gurau. Sesekali kami perhatikan senyum indah ibuku terlihat di wajah keriputnya. Walau sudah keriput namun aku lihat Ibuku sangat cantik, damai terlihat disana.
Saat satu-satu kakakku berpamitan untuk ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih, aku dan juga beberapa saudaraku tak ikut ke masjid. Seperti ada yang melarangnya. Kakak perempuanku  mengajakku untuk nanti jamaah di rumah saja, mumpung kita bisa berkumpul.
Aku pun mengiyakan, karena juga aku merasakan kebersaman malam ini begitu beda. 
Tiba-tiba, ibuku memanggil adikku. 
"As, kemari Nak. Ibu akan tidur ibu ngantuk,"ucap ibuku.
"Iya, Bu." Dengan sigap adikku Astuti menghampiri Ibukku. 
Tiba-tiba kami di kagetkan dengan  panggilan  adikku.
"Mbak, mbak ... Kemari, kenapa dengan Ibu," teriaknya.
"Kenapa, Dik," tanyaku.
"Ibu Mbak, Ibu...
Kami segera melihat keadaan Ibu yang terbaring lemah di pembaringan, padahal tadi Ibu masih ikut berbuka puasa dan hanya berpamitan akan tidur sebentar karena ngantuk. 
"Nak,"ucapnya lirih.
"Ibu,Ibu,Ibu kenapa? Tanyaku.
"Ayo,Mbak kita bawa Ibu kerumah sakit, Ibu sangat lemah,"pinta adiku.
"Nak, tak usah, Ibu tidak apa-apa. Ibu hanya lelah dan ngantuk ibu akan tidur," ucap ibu lirih.
Aku pegang tangannya.
Detik-detik sangat menyayat hati, pegangan lembut tangan Ibukku tiba-tiba melemah. Nafas Ibu tersenggal-senggal. Ya Rabb ... Ibu kenapa. Tanyaku dalam hati. 
Baru pertama ini aku mrlihat Ibuku seperti ini. Kakakku lelakiku yang baru saja pulang dari masjid, mendekat dan bidikan kalimat tahlil di telinga Ibuku. Dia pangsung meminta aku dan juga saudara yang lain untuk membaca Al-Quran Surat Yasin. 
Hatiku berdetak kencang, aroma melati berhembus dari pintu depan rumahku. Seisi kamar Ibuku beraroma melati. Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku lihat Ibuku tersenyum dan seketika pegangan tangan Ibukku lepas. 
"Ibuuuuuuu ... "teriakku dan juga adikku.
Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. 
Setelah sadar aku lihat banyak tetangga yang datang ke rumah. 
Innalilahi wa innailaihi tojiuuun...
Tak kuasa aku menahan tangis. Senyum itu senyum terakhir Ibuku.
Kembali aku menangis, di hibur oleh tetangga dan juga saydara. Aku pun segera ikut untuk menyiapkan  pemandian jenazah Ibuku. 
Seperti mimpi, secepat itu kau pergi Ibu. Selamat jalan, selamat tinggal. Kau akan selalu ada di hati. Allah lebih sayang Ibuku. Damailah disana Ibu. Jasamu tiada terkira akan selalu kujaga dan kuingat apa yang telah kau ajarkan padaku. 


Gunungkidul, 27 November 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips Tulisan yang di Lirik Pembaca

Tips Tulisan yang di Lirik Pembaca