Hari Sabtu sore di lapangan dekat rumahku sangatlah ramai, di sana
banyak anak-anak yang bermain. Sebagian teman perempuan bermain Kasti sedangkan
yang laki-laki bermain Sepak bola, juga ada yang bermain sepeda. Tak banyak
memang yang memiliki sepeda, termasuk diriku. Hanya orang-orang tertentu saja
yang memiliki sepeda.
Tak dapat di pungkiri aku sangatlah ingin memiliki sepeda seperti
teman-teman yang lain. Setidaknya jika aku memiliki sepeda aku bisa
menggunakannya saat pergi ke sekolah.
Jarak rumahku ke sekolah lumayan jauh. Jika harus membantu Ibu
menyiapkan dagangan berupa makanan ringan seperti kue dadar gulung dan juga
nasi uduk untuk di jual ke pasar maka tak
jarang aku harus buru-buru pergi ke sekolah. Maka impianku memiliki sepeda
sangatlah kuat.
Sejak kepergian Ayahku, Ibukulah satu-satunya orang yang mencari
nafkah untuk mencukupi kebutuhan kami. Tak adil jika rasanya aku meminta Ibuku
untuk membelikan sepeda. Diam-diam tanpa sepengetahuan Ibuku aku selalu
menyisihkan uang jajanku. Walau aku tau tentu membutuhkan waktu yang lama agar
uang terkumpul dan bisa membeli sepeda. Tak apa, aku sangat yakin pasti suatu
saat aku bisa membeli sepeda dengan uang tabunganku.
Sore itu sepulang bermain aku dapati Ibuku masih sibuk memasak di
dapur. Aku pun berusaha membantu.
" Ibu, biar saya bantu ya," pintaku.
"Tidak usah, Nak. Kamu segera mandi saja dan bersiap untuk ke
masjid," jawab Ibuku.
"Kan masih lama, Bu. Masih ada waktu kok," ujarku.
"Ya sudah, sini bantuin Ibu mecuci sayuran yang sudah Ibu
siapkan," perintah Ibuku.
"Siap, Ibu," segera aku ambil sayuran untuk segera ku
cuci.
Senang rasanya bisa membantu Ibuku. Sayur yang di masak Ibu. Sudah
matang. Aku segera mandi dan persiapkan diri untuk pergi ke masjid. Kami biasa
makan malam sehabis maghrib. Kegiatan TPA diadakan sebelum waktu maghrib tiba.
Jadi setelah jamaah maghrib aku dan juga teman-teman langsung pulang.
Aku hanya tinggal bersama Ibuku. Saat Ibu bekerja membantu keluarga
Pak Imron membereskan rumahnya aku kadang di minta untuk ikut. Putra Pak Imron
yang menginginkan aku ikut ke rumahnya. Dory namanya, dia senang belajar
bersamaku. Tiap ada kesulitan aku bisa membantunya . Aku senang bisa
membantunya .
Ibu membantu keluarga Pak Imron hanya satu minggu sekali. Kadang
aku merasa kasihan dengan Ibuku, selain ke pasar Ibu juga harus bekerja di
rumah Pak Imron. Doa ku semoga Ibu selalu sehat.
Pak Imron dan juga Ibu Mira sangat senang tiap aku belajar bersama Dory.
Mereka kadang memberi uang saku untukku, awalnya aku menolak tapi mereka
memaksaku untuk menerimanya. Mereka sangat baik sekali. Mereka sering
memberikan bingkisan pada Ibuku berupa sembako. Tak tau bagaimana aku membalas kebaikan mereka.
Pagi itu saat sampai di sekolah tak ku dapati Dory. Hatiku
bertanya-tanya ada apa dengan Dory? padahal kemarin di hari minggu aku masih
belajar bersama di rumahnya. Aku
berharap Dory baik-baik saja. Sementara ketika Ibu Tika guru kelas kami masuk
ke kelas dan mengabsen semua siswa, beliau
memberi tahukan bahwa Dory tidak masuk hari ini karena kecelakaan. Kami
begitu kaget mendengar kabar tersebut.
Menurut kabar yang kami terima, Dory kecelakaan saat perjalanan ke
sekolah. Dory di antar Pak Imron dan mengalami kecelakaan. Dory harus di rawat
di tumsh sakit sedangkan keadaan Pak Imron baik-baik saja hanya sedikit lecet
pada tubuhnya.
"Ibu, Ibu ... ," dengan betlari terengah-engah aku
sampaikan berita itu pada Ibukku.
"Amiir, kamu kenapa? jangan teriak-teriak, duduk dulu. Ini
minum! ucap ibuku.
"Iya,Bu. Aku
minum,"kataku.
Setelah minum beberapa teguk air putih yang di berikan Ibu. Aku pun
mulai tenang. Aku ceritakan kabar tentang Dory. Ibuku juga kaget mendengarnya.
"Keluarga Pak Imron begitu baik, Mir. Bagimana kita bisa
membalas kebaikan mereka. Saat ini mereka tentu sangat bersedih, kita harus
menjenguknya," ucap ibukku.
"Tentu, Bu. Kita harus segera kesana, melihat
keadaanya,"jawabku.
"Ibu tak punya uang untuk sekedar membeli buah tangan untuk
mereka, Mir."
Kulihat Ibu sangat bersedih. Tak tega aku melihatnya. Pikiranku
teringat pada tabunganku. Aku harus relakan mengambil sebelum waktunya. Tak apa
yang terpenting Ibu tak bersedih lagi.
Segera aku ambil dan ku berikan pada Ibuku. Uang yang aku taruh
dalam toples kecil itu aku berikan ke Ibu.
"Ibu, ini sedikit tabunganku. Gunakan untuk menjenguk Dory
bu," kataku.
"Amir, kamu punya tabungan, Nak," nada kaget Ibuku jelas
terlihat di sana.
Aku tersenyum, pelukan hangat mendarat di tubuh mungilku.
"Ibu bangga padamu, Nak. Terimakasih untuk keiklasanmu,"
ucap Ibukku.
***
Selama lebih dari satu minggu. Dory di rawat di rumah sakit. Aku
sangat kehilangan. Pak Imron dan juga Bu Mira juga sangat bersedih. Ketika Dory
sudah di perbolehkan pulang betapa
bahagianya Pak Imron dan Bu Mira. Aku juga demikian. Bersyukur Dory bisa
sehat dan kembali pulang.
Kesehatan Dory berangsur membaik. Saat Ibuku Telah selesai membereskan
rumah dan pamit untuk pulang, tiba-tiba Pak Imron memanggilku.
"Mir, jika kau mau pulang, kau bawa sepeda mikik Dory yang ada
di garasi itu ya," perintah Pak Imron.
"Tapii ... tapi, Pak," kataku.
"Ga ada tapi tapian, Mir. Sudah menjadi nadzarku jika Dory
sembuh dan boleh pulang maka sepeda itu akan aku berikan padamu, maaf walau
bukan sepeda baru. Namun itu masih bagus untuk kau gunakan," ucap Pak
Imron.
Aku tak bisa berkata-kata sementara Ibuku yang mendengar percakapan
kami, tiba-tiba muncul dan mengucapkan terimakasih pada Pak Imron.
"Ya Allah, Pak.terimakasih untuk kebaikan Bapak, semoga Allah
melimpahkan kesehatan keberkahan untuk keluarga Bapak," ucap Ibu.
"Sama-sama, Bu. Semoga Amir senang," harap Pak Imron.
Dory yang melihat percakapan kami tersenyum. Aku hampiri Dory yang masih terbaring dan ucapkan terimakasih. Kami berpelukan. Dory
senang aku juga sangat senang. Terimakasih ya Rabb, akhirnya dengan ijin-Mu aku
bisa memiliki sepeda, syukurku dalam
hati.
Anak-anak yang sempurna, anak-anak yang baik dan hebat.
BalasHapusMohon krisarnya Pak D... Kurang gimaba cerpennya.
HapusBerbagi itu indah ya bu..
BalasHapusBetul Ibu ...
HapusIklas berbagi maja Allah akan mengganti dengan yang kebih baik lagi.
BalasHapus