Dilema Seorang Mama
Menjadi seorang Ibu dan istri yang harus harus bekerja keluar rumah
membuatku harus pandai-pandai mengatur waktu. Dari awal menikah tentu suami
istri sudah saling memahami akan tugas dan kewajiban masing-masing. Di butuhkan
pengertian dan kerjasama yang baik agar suami istri tak saling menyalahkan jika
terjadi hal-hal yang tak di inginkan.
Bekerja keluar rumah dan dengan jarak yang tak dekat pun membuatku
harus ektra hati-hati dalam mengatur waktu. Saat anak masih kecil dan masih
sangat membutuhkan peran seorang ibu. Apa lagi saat anak kurang sehat. Huuuf
rasanya tak karuan. Bagaimana tidak di satu sisi aku harus segera berangkat
bekerja namun di sisi lain aku harus
dampingi anak yang sedang sakit. Saat sakit anak tak mau jauh dari ibunya.
Berbagai cara di lakukan agar anak bisa ditinggal bekerja. Waktu
terus berjalan anakku pun masih juga enggan untuk dilepaskan dari gendonganku.
Hati bergejolak pilu. Sakit perih namun tetap harus iklaskan tuk tingalkan
si-kecil.
“Maa … Maa … ituut (ikut),” rengeknya.
“Mama kerja dulu ya sayang, Adek sama mbak Eka di rumah.” Bujukku.
“Maa, Maaa,” Panggilnya. Aku hiraukan panggilan anakku.
Mbak Eka panggilan kami untuk orang yang membantuku mengasuh
anak-anakku di rumah. Setelah aku pulang kerja ia pun harus pulang dan keesokan
harinya kembali membantuku mengasuh anak-anak di rumah. Sudah hampir 2 tahun ia
bekerja di rumahku semenjak kelahiran anak keduaku. Biasanya si kecil tidak
se-rewel ini namun mengkin karena kurang sehat maka anakku nangis saat aku
tinggalkan.
Kulaju kendaraanku yang sudah setia menemaniku selama bekerja di
wilayah kecamatan lain yang masih satu kabupaten, walau masih satu kabupaten
namun jarak lumayan jauh. Membutuhkan setengah jam perjalanan. Dalam perjalanan
aku masih memikirkan anakku yang menangis memanggilku. Dalam hati aku selalu
berdoa agar dia baik-baik saja dan segera sehat kembali agar saat aku tinggal bekerja
bisa nyaman bermain bersama Mb Eka dan tentu aku bisa bekerja dengan tenang.
Tepat pukul 07.15 WIB aku
baru sampai di parkiran sekolah. Aku jelas terlambat padahal aku harus masuk
kelas jam pertama di kelas 2. Segera aku bergegas untuk ke ruang guru absen dan
tentu segera masuk kelas. Sampai di ruang guru ternyata Ibu kepala sekolah ada
di sana. Segera aku salam dan sebelum masuk kelas aku pun mohon maaf atas
keterlambatanku. Ada sedikit raut muka yang kurang mengenakkan yang dapat aku
tangkap. Aku sudah berusaha untuk bisa datang ke sekolah tepat waktu. Namun apa
hendak dikata keadaan anakku yang kurang memungkinkan. Ya Rabb beri aku
kekuatan untuk semua ini. Aku istighfar dan mohon segera pamit dan ke ruangan
kelas dua.
“Selamat pagi anak-anak, assalamu’alaikum.” Sapaku pada siswa-siswa
kelas dua. Aku tetap tunjukkan wajah berseri pada mereka walau dalam hartiku
masih berkabut.
“Pagi, bu Guru. Wa’alaikumsalam warah matullahi wabarokatuh.”
Jawaban kompak siswa-siswaku. Keceriaan mereka menambah semangat baru buatku.
Aku sampaikan maaf atas keterlamabatanku. Aku lanjutkan pelajaran
dan tak terasa waktu begitu cepat. Pembelajaran yang menyenangkan di kelas
mampu membuatku sedikit hilangkan kegelisahan memikirkan anakku dna juga
tanggapan Ibu KS yang kurang nyaman. Aku sudah berusaha berikan yang terbaik
untuk siswa-siwsaku.
Saat jam istirahat tiba aku segera hubungi Mb Eka untuk
mengeetahuikeadaan anakku.
“Bagaimana Mbak, keadaan Adek? obatnya sudah diminum belum? Tanyaku
bertubi-tubi.
“Ya bu, Adek sudah tidak
nangis lagi, ini hanya minta gendong terus bu, badanya masih panas, ini baru
saja tidur.” Jawab Mb Eka.
“Semoga tak rewel. Maaf aku belum bisa pulang lebih awal ya.”
Kataku. Dalam hatiku tetap merasa bersalah tapi aku tetap harus lakukan tugasku
dengan baik.
“Iya, Bu. Semoga Adek segera sehat.” Harap Mbak Eka.
Beruntung aku bisa mendapatkan Mbak Eka selain dia telaten dalam menjaga dan bersamai anakku,
dia juga sangat sabar. Tiba-tiba dering ponselku mengagetkan lamunanku.
“Halo assalamu’alaikum, Yah.
Ada apa? Tanyaku pada suamiku. Ternyata suamiku yang call.
“Wa’alaikumsalam.” Jawabnya pelan.
“Ada apa, Yah? Aku masih ada jam nanti.”jawabku.
“Aku baru saja sampai rumah, dan Adek aku lihat kondisinya sangat
lemas dan badanya masih panas.Jika bisa
Mama izin pulang ya! Pintanya.
“Tapi tadi Mbak Eka aku tanya Adek bisa tidur.” Jelasku.
“Iya, Ma. Tapi saat aku lihat badanya lemas sekali. Kita bawa ke
dokter saja” Ajak suamiku.
Aku tak bisa berkata apa-apa selain hanya istghfar dan perasaan
gemuruh berkecamuk dalam dada. Riwayat bayi premature membuat aku harus ekstra
dalam merawat dan menjaga anakku. Anakku
sangat rentan terserang penyakit. Daya tahan tubuhnya sangat lemah.
Aku masih berusaha untuk menyelesaikan tugas mengajarku sampai jam
pelajaran habis. Biasanya saat setelah jam pelajaran usai, kami guru-guru masih
melanjutkan pekerjaan untuk mengerjakan adminitrasi guru. Aku beranikan diri
untuk mohon pamit pada Ibu Kepala Sekolah.
“Maaf, Bu. Hari ini saya mohon izin untuk pulang lebih awal.” Pamitku.
“Izin? Bukannya tadi ibu sudah datang terlambat. Dan sekarang akan
izin pulang lebih awal? Ga salah, Bu? dengan nada ketus jawaban Bu Kepala
sekolah membuatku ciut.
“Maaf bu, suami memberi kabar keadaan Adek dan meminta sya untuk
segera pulang.”Jelasku.
Bukannya memberi izin namun Ibu Kepala sekolah malah memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang menurutku hanya sia-sia saja aku minta izin.
“Apa ibu tidak merasa berdosa, jika datang saja terlambat tapi mau
minta izin pulang lebih awal.” Ucap Beliau.
“Jika Adek tidak sakit tentu tidak begini buk keadaanya.” Jawabku.
Tidak ada jawaban yang menandakan aku di izinkan pulang. Akupun
berpamitan untuk kembali ke ruang guru. Ada sesak di dada. Aku berusaha kuat
dan sabar. Semua ibu tentu merasakan hal yang sama sepertiku jika melihat
keadaan anaknya yang sakit dan tak bisa menjaganya.
Ya Rabb kuatkan aku. Butiran bening menetes di sudut mataku, sementara pesan suami tak aku hiraukan. Aku
ga tahan. Pesan audio aku dengar, suami memintaku untuk segera pulang.
Aku disini namun hatiku di rumah. Ku lirik jam dinding yang ada di
sudut ruangan guru. Berharap jarum berputar lebih cepat agar aku bisa segera
pulang. Aku tetap tak bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Aku tak dapat
menyelesaikan adminitrasi apapun.
Tak ada yang dapat aku lakukan disini. Aku beranjak tuk ambil air wudu dan segera ke
mushola. Aku berdoa dan hatiku pun mulai tenang. Aku ambil ponsel yang aku
taruh di saku baju seragamku. Dan apa yang aku baca.
[Maa, pulanglah Maa, keadaan Adek makin memburuk] pesan suamiku
[Bu, Adek belum bangun-bangun juga dari tadi, badanya panas. Ibu
pulang ya] pesan Mb Eka.
Dan masih banyak chat chat yang lain. Deeg.. jantungku berdetak
kencang. Aku tak hiraukan Ibu Kepala Sekolah. Aku hanya berpamitan pada rekan
guru-guru yang lain. Dan aku meminta temanku untuk sampaikan Bu Kepala Sekolah.
Perjalanan yang biasa memakan waktu setengah jam, dapat aku tempuh
hanya 25 menit sampai rumah.
Kudapati Adek tergeletak lemas di ranjang bayinya. Sementara
suamiku hanya duduk menungguku.
“Maafkan aku, Nak. Maafkan aku Yah.” Aku raih tubuh mungil anakku.
Tak henti-hentinya aku menangis. Dan segera suamiku bangkit dan stater mobil
tua milik kami. Tak banyak bicara aku langsung naik sementara Mak Eka
mengikutiku sambil membawa peralatan Adek.
Sesampainya di Rumah Sakit pusat Kota Adek segera di tangani oleh
Dokter yang biasa menangani Adek dari sejak bayi.
“Untung Ibu segera membawanya, terlambat sedikit tak tau apa yang
terjadi bu.” Kata Dokter.
“Iya, Dok. Tolong berikan yang terbaik untuk anak kami.” Begitu
kewatir kami dengan keadaan ank kami.
“Kita tunggu satu jam, obat yang saya berikan bereaksi ya, Bu. Jika
tidak ada perkembangan maka anak ibu harus di rawat inab.” Kata Dokter.
“Kami ikut Dokter, bagaimana baiknya, Dok.” Jawabku.
Satu jam berlalu dan tak ada tanda-tanda Adek membaik. Seperti yang
dikatakan Dokter. Adek harus di rawat inab. Ya Allah, berikan kesembuhan pada
anakku. Tak ada yang dapat aku lakukan selain berdoa dan berharap untuk
kesembuhan anakku. Seharian anakku belum juga minum Asi. Dia dehidrasi.
Maafkan aku Nak, aku tak bisa berikan terbaik untukmu. Mama banyak
meninggalkan dirimu sedangkan kau membutuhkan Mama. Tangisku pilu. Suami hanya
bisa menenagkanku dan memintaku terus berdoa.
“Sudah, Maa. Jangan menangis jangan salahkan dirimu. Kita berdoa
ya.” Bujuk suamiku.
Aku tumpahkan segala isi hatiku, aku pasrah Ya Rabb.
Seiring pilu hati ku hujan turun begitu derasnya seolah mewakili
rasa yang menghimpit jiwaku. Segera Aku
call Ibu kepala sekolah meminta maaf dan beri kabar jika anakku di rawat di
rumah sakit. Aku pun meminta izin untuk besok tidak masuk kerja. Ibu kepala
Sekolah memberi izin serta meminta maaf untuk tak kata-kata yang beliau ucapkan
saat aku meminta izin pulang lebih awal. Kami saling memafkan, semoga kejadian
ini bisa memberi pelajaran untuk kami. Aku tutup telephone dan kembali aku
berdoa untuk kesembuhan anakku.
Satu minggu anakku di rawat. Alhamdulilah Tuhan berikan kesembuhan. Senyum ceria anakku senyum
bahagiaku. Terimakasih Ya rabb.
Gunungkidul, 20 September 2021
Tetes2 air mataku menitik disudut2 mataku..membaca ceriramu yg mengharu biru kalbu...mbk atik ...yah..dilema seorang istri sekaligus ibu dan guru.....
BalasHapusIya mb Eny ... Semoga kita selalu sehat.bisa melaksanakan tugas kita dengan baik antara tugas seorang, 8bu, guru dan juga istri. Aamiin
HapusPaling bikin galau emang kalau sudah mikirin pembagian tugas buat jadi ibu, istri, dan guru. Tapi mama saya selalu bilang "Beban tidak akan salah memilih pundak".
BalasHapusSehat-sehat, Bu Yati 🙏
Aamiin aamiin betul bund... Terimakasih
HapusIkut sedih atas apa yg menimpa. Begitulah dilematisnya kita sbg ibu dan pekerja. Ketika atasan tidak bijaksana, maka hati kita merasa terpuruk. Semoga ananda sehat2 yah..
BalasHapusAamiin .. makasih Ambu
HapusDilema yang melanda kta wanita pekerja. Alhamdulillah Adek baik-baik saja akhirnya.
BalasHapusSemoga selalu ada jalan untuk kita bisa lakukan tugas kita dengan baik. Aamiin
HapusPernah merasakan hal yang sama. Bersyukur masih diberi kesempatan bersama buah hati kita.
BalasHapusIya bund.... Bersyukur untuk smua. Banyak pelajaran berharga yg dpt kt petik..
Hapus